"Nyanyian" Novanto Tidak Steril...

Selasa, 03 April 2018

JAKARTA - riautribune : Skandal korupsi proyek KTP Elektronik mulai terkuak sejak mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin menyebut sejumlah nama yang diduga terlibat dalam mega korupsi KTP Elektronik. Sejak itu, pernyataan Nazaruddin menggemparkan publik dan jagad politik nasional.

Berangkat dari keterangan Nazaruddin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menelusuri kasus korupsi yang merugikan negara 2,3 triliun itu. Alhasil, sejumlah nama sudah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Setya Novanto mantan ketua umum Partai Golkar yang dikenal sangat “licin” akhirnya menjadi tersangka.

Tidak dipungkiri, bahwa sejumlah orang yang ditetapkan sebagai tersangka bersumber dari keterangan Nazaruddin, termasuk nama Novanto yang pernah disebut Nazaruddin dalam cuitannya beberapa tahun silam. Namun hingga saat ini tidak semua nama yang disebut Nazaruddin menjadi tersangka.

Lantas apakah Nazaruddin berbohong? Belum tentu, mungkin sejumlah nama yang belum ditetapkan menjadi tersangka belum atau tidak cukup alat bukti atau ada faktor lain. Lalu apakah ada agenda politik di balik cuitan Nazaruddin? Tentu tidak menutup kemungkinan ada agenda politik di balik itu. Lantas jika ada kepentingan politik, siapa yang bermain? Disinilah rumitnya, sejauh belum ditemukan alat bukti yang cukup, maka tidak mudah untuk menyebut nama siapa yang “bermain politik” di balik sejumlah kasus tersebut.

Namun, yang pasti, dari berbagai cuitan tersebut ada pihak yang dirugikan dan ada yang diuntungkan secara politis. Dalam konteks ini, ada dua hipotesa; yaitu apakah yang terjadi adalah kepentingan politik “menumpang” kasus hukum atau kasus hukum berimplikasi politik karena yang diduga terlibat kebetulan memiliki hubungan dengan kekuasaan politik tertentu, sehingga kasus hukumnya berdampak secara politis. Tapi yang pasti cuitan Nazaruddin maupun Novanto semakin nyaring di saat ada momentum politik.

Sejumlah cuitan Nazaruddin seperti kasus KTP Elektronik, Hambalang, kasus politik uang pada saat Kongres Partai Demokrat di Bandung memiliki implikasi terhadap menurunnya suara Partai Demokrat pada pemilu 2014 setelah sejumlah kader Partai Demokrat terjerat kasus korupsi.

Lantas apakah cuitan Setya Novanto yang menyebut dua kader PDI Perjuangan Puan Maharani dan Pramono Anung memiliki agenda politik sebagaimana cuitan Nazaruddin ketika itu? Jika menyimak pola dan momentum yang ada saat ini dimana ada agenda politik besar yaitu pilkada serentak 2018 dan pemilu nasional 2019 yang tinggal beberapa bulan lagi. Maka bisa dikatakan cuitan Novanto tidak steril dari kepentingan politik ke depan.

Dengan demikian, cuitan Novanto memiliki dua dimensi sebagaimana cuitan Nazaruddin, yaitu dimensi hukum dan dimensi politik.  Coba perhatikan, sebelum Novanto menyebut nama Puan dan Pramono, Nama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah disebut dalam sidang kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Adalah Mantan Wakil Ketua Badang Anggaran (Banggar) DPR RI, Mirwan Amir, yang notabene merupakan kader Partai Demokrat yang menyebut nama SBY saat dihadirkan sebagai saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Politisi Partai Demokrat itu mengaku pernah menyarankan SBY menghentikan proyek e-KTP tapi tidak dilakukan oleh SBY. Atas tudingan itu, SBY melakukan membantah dan protes keras dengan melaporkan pengacara Setnov ke polisi. Dalam kasus ini, SBY menjadi sasaran kembali. Jika dikaji dalam perspektif politik, tentu bukan hanya SBY yang dirugikan, tetapi bisa berimplikasi terhadap menurunnya kepercayaan public terhadap Partai Demokrat.   

Maka, cuitan Novanto bisa diibaratkan bagaikan pisau bermata dua. Mentarget secara hukum dan politik sekaligus. Jika target hukum gagal, maka minimal target politiknya tercapai. Fenomena cuitan Setnov ini jika dikaji dihubungkan dengan momentum, dimana saat ini sudah memasuki tahun pertarungan politik, maka tidak menutup kemungkinan, penyebutan dua orang penting di PDI Perjuangan tersebut memiliki agenda politik untuk menggerus perolehan suara PDI Perjuangan pada pemilu 2019.

Karena sebagaimana diketahui, PDI Perjuangan merupakan partai penguasa yang menurut hasil survei sejumlah lembaga, posiisi PDI Perjuangan diprediksi akan menjadi pemenang pada pemilu 2019 yang akan datang. Nampaknya, sasaran cuitan Setnov tak hanya diarahkan ke PDI Perjuangan, tetapi, dengan menyerang Pramono Anung, cuitan Setnov juga diarahkan ke istana. Target minimal adalah mendelegitimasi wibawa istana.

Lantas apakah target cuitan Novanto akan berhasil menyeret Puan dan Pramono menjadi tersangka? Hal itu akan ditentukan oleh penemuan alat bukti yang cukup oleh KPK. Karena, sebagai lembaga penegak hukum yang terpercaya, tentu saja KPK tidak percaya begitu saja dengan keterangan Setnov. Cuitan Setnov baru dianggap sebagai fakta persidangan. Itu belum cukup untuk menetapkan sesorang menjadi tersangka. Lalu apakah target politik di balik pernyataan Novanto akan berhasil? Ini akan tergantung seberapa besar publik percaya terhadap ocehan mantan Ketua DPR itu.

Jika publik memahami cuitan Setnov sebagai “nyanyian politik” menjelang pemilu dan mengetahui rekam jejak (track record) Setya Novanto yang selama ini dipersepsikan negatif karena sejumlah kasus, maka bisa saja banyak yang tidak percaya dengan celotehannya. Jika begitu masih percayakah dengan Setya Novanto? Tentu boleh percaya boleh tidak, karena otoritas ada di tangan anda. (rmol)

Penulis adalah Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute (IPI)