Ketimpangan Lahan Harus Dijawab Pemerintah

Sabtu, 31 Maret 2018

Jakarta - Riautribune:Ketimpangan penguasaan lahan masih nyata terjadi di Indonesia. Ini harus dijawab pemerintah. Kritik politisi senior Amien Rais terhadap pemerintah soal ini jangan dibawa ke ranah politik dan metodologi. Faktanya, ketimpangan lahan memang lebih buruk daripada ketimpangan pendapatan rakyat Indonesia. Hal ini dikemukakan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hanafi Rais saat jumpa pers di ruang Fraksi PAN, Gedung Nusantara I, Komplek DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/3/2018).

 

“Isu ketimpangan tanah bergesar substansinya menjadi isu yang bersifat teknis bahkan politis, terutama menyangkut metodologi dan koleksi data. Pemerintah mengaburkan substansi kritik yang sesungguhnya mengenai pesan dan semangat menegakkan reforma agraria di pemerintahan Jokowi,” paparnya. Hanafi yang didampingi ekonom Drajat Wibowo itu kepada pers menyampaikan, yang penting dalam reforma agraria adalah redistribusi lahan.

 

Namun, program ini dihadapkan pada sebuah fakta ketimpangan penguasaan lahan. Sebagian kecil orang menguasai banyak lahan di Indonesia. Ini yang mestinya dijawab pemerintah sebelum periodenya berakhir pada 2019 nanti. “Reforma Agraria kalau sekadar bagi-bagi sertifikat itu tidak asli lagi. Sertifikat sudah haknya masyarakat yang harus diberikan negara seperti halnya KTP. Namun, masih banyak masyarakat kita yang belum senang, karena lahan mereka dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Ketimpangan lahan harus dijawab dengan sungguh-sungguh.

 

Ketimpangan lahan harus dicarikan solusinya,” imbau politisi PAN ini. Sementara Drajat Wibowo mengungkapkan data yang dirilis hasil sensus 10 tahun sekali dari BPS. Data itu memperlihatkan, pada tahun 1973 rasio gini (ketimpangan) lahan mencapai 0,55. Tahun 1983 dan 1993 mencapai 0,5 dan 0,64.

 

Selanjutnya, tahun 2003 berada di 0,72 dan tahun 2013 0,68. Ketimpangan penguasaan lahan justru terjadi pada tahun 2003 saat Megawati menjabat presiden. “Rasio gini yang semakin tinggi, artinya semakin timpang. Skalanya 0-1. Kalau nilainya 0 berarti tak ada ketimpangan atau perfect equality.

 

Sementara rasio gini pendapatan rakyat Indonesia terkahir pada era SBY sekitar 0,4. Mungkin sekarang turun sedikit sekitar 0,41. Artinya, ketimpangan penguasaan lahan jauh lebih jelek daripada ketimpangan penghasilan rakyat Indonesia,” papar Drajat. (dpr)