Eko Yuli Irawan Ingin Lupakan Santo Domingo dan Terus Ingat Olimpiade London

Kamis, 22 Maret 2018

Jakarta - Riautribune:Eko Yuli Irawan sudah sangat akrab dengan turnamen angkat besi sejak usia belasan tahun. Tak hanya kenangan manis, namun ada juga ajang yang ingin dilupakannya.

 

Eko dikenal publik setelah menjadi juara dunia junior angkat besi di kelas 56 kg pada 2007 di Praha. Tapi,s etahun sebelumnya, dia dipaksa tampil ke kelas dewasa; praolimpiade dalam Kejuaraan Dunia 2006 di Santo Domingo.

 

"Waktu itu saya amsih dalam kelompok umur remaja, tapi diturunkan di kelas senior, praolimpiade untuk kelas 56 kg. Dari segi angkatan jauh. Peringkat kedelapan, jauh banget," kata Eko sambil geleng-geleng kepala.

 

"Kejuaraan itu kalau bisa jangan dihitung deh he he he," ujar Eko. Di tahun itu pula, Eko langsung diturunkan di Asian Games Doha. Karena tak ada kelompok umur, Eko pun lagi-lagi harus bersaing dengan lifter dewasa. Eko Yuli saat berlatih di Wisma Kwini, JakartaEko Yuli saat berlatih di Wisma Kwini, Jakarta

 

"Setelah itu ikut Asian Games, untuk pertama kalinya. Di akhir perlombaan dapat peringkat keenam," Eko mengenangnya.

 

"Untuk Asian Games ini antara ingin dilupakan dan enggak. Sebab, walaupun nggak dapat medali, ini jadi Asian Games pertama buat saya. Lagipula saya umur masih remaja. Debut multievent, walau nggak medali rasanya luar biasa. Soalnya buat lolos ke timnas inti kan sudah harus mengalahkan tim inti yang diisi lifter-lifter nasional dewasa," ujar Eko.

 

Nah, untuk ajang yang paling mengesankan, Eko justru tak menunjuk Olimpaide 2016 Rio dengan berhasil meraih medali perak. Dia masih menomorsatukan capaian di Olimpaide 2012 London dengan perunggu dan angkatan total 317 kg.

 

"Waduh susah nih kalau diminta memilih mana yang paling mengesankan. Emm, Olimpiade 2012 London saja. Meski dari segi medalinya perunggu, tapi the best angkatannya di situ. Saya juga tampil dengan tulang kering retak," tutur Eko.

 

"Yang bikin bingung untuk memilih adalah Olimpiade 2016 Rio angkatannya nggak sebagus London, tapi medalinya lebih bagus. Ini bingung mau senang atau sedih," ujar Eko kemudian tergelak.

 

"Memang di Olimpiade Rio segi power lebih tinggi, tapi angkatannya banyak yang gagal. Kalau enggak gagal bisa emas. Ibaratnya medali emas tinggal dikalungin tapi nggak jadi.

 

Sampai sekarang masih bingung. kalau sedih kok seakan-akan nggak bersyukur dengan medali perak, kalau bilang senang padahal emasnya hilang. Jadi harus bagaimana bingung," Eko mengungkapkan.(dsc)