Pasal Kretek, Revisi UU KPK sampai Pengampunan Koruptor jadi Kontroversi DPR

Rabu, 07 Oktober 2015

Foto Internet

JAKARTA-riautribune: Kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dianggap masih rendah saat usianya sudah mengancik satu tahun. Seolah ingin memperbaiki kinerja legislasi, para wakil rakyat kemudian membahas sejumlah rancangan undang-undang untuk diusulkan menjadi inisiatif DPR.

Sayang alih-alih mendapat simpati, tiga produk rancangan undang-undang yang kini disiapkan DPR justru memicu kontroversi. Ketiga RUU tersebut adalah; tentang kebudayaan, revisi Undang-undang tentang KPK, dan RUU tentang Pengampunan Nasional.

Rancangan undang-undang tentang Kebudayaan sebenarnya digagas untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya nusantara. Namun ada satu bagian yang kemudian menimbulkan kontroversial yakni soal masuknya pasal kretek.

Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo mengatakan bahwa kretek adalah warisan budaya yang unik sehingga perlu dilindungi lewat peraturan khusus.

Menurut dia jika tak diatur secara khusus, maka ada kemungkinan diakui oleh negara-negara lain. "Baleg punya alasan sendiri untuk memasukkan pasal tersebut, yaitu bahwa kretek tradisional punya keunikan," kata Wakil Ketua Baleg DPR, Firman Soebagyo Jumat (25/9/2015) lalu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengisyaratkan tidak menyetujui adanya pasal kretek masuk RUU tentang kebudayaan.  "Kita ingin agar anak-anak untuk hidup sehat. Salah satu hal jika bicara kesehatan adalah bicara tentang hari ini banyak sekali anak-anak kita terexpose pada kegiatan rokok merokok. Kira-kira itu membangun budaya sehat tidak? (jawabannya) tidak," kata Anies, Selasa (6/10/2015) kemarin.

Belum selesai polemik soal pasal kretek, Selasa kemarin DPR berencana mengajukan revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Niat wakil rakyat merevisi UU KPK ini memicu kontroversi karena pada Juni lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyatakan penolakannya.

Apalagi melalui revisi itu nanti, DPR memangkas sejumlah kewenangan KPK. Antara lain; KPK tak lagi memiliki kewenangan mengusut tindak pidana korupsi dengan kerugian negara kurang dari Rp 5 miliar. KPK juga tak lagi memiliki kewenangan penuntutan.

Pada saat bersamaan DPR juga tengah menyiapkan RUU tentang Pengampunan Nasional. Rancangan undang-undang ini disusun untuk memberikan pengampunan bagi pengemplang pajak.

"Pengampunan Nasional adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ini," bunyi pasal 1 RUU tentang Pengampunan Nasional.

Di bagian penjelasan RUU tentang Pengampunan Nasional disebutkan bahwa salah satu penyebab harta dan benda yang tidak dibayar pajaknya karena diperoleh dari tindak pidana korupsi, ilegal logging, tindak pidana perbankan atau perjudian.

Nah setelah pengemplang pajak itu meminta pengampunan, di pasal 10 RUU itu disebutkan bahwa, "Selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan, orang pribadi atau badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan,".

Menurut RUU tersebut, setelah meminta pengampunan pajak, seseorang tak akan diusut perolehan hartanya meskipun berasal dari tindak pidana korupsi. Bahkan negara juga akan mengampuni tindak pidana korupsi yang telah dia lakukan.(dtc/rt)