Inkonsistensi Jokowi Jelang Pilpres Lewat Rangkap Jabatan Menteri

Senin, 22 Januari 2018

JAKARTA - riautribune.com : Presiden Joko Widodo mempertahankan Airlangga Hartarto di kabinet kerja sebagai Menteri Perindustrian. Padahal, Airlangga merupakan Ketua Umum Partai Golkar.

Komitmen Jokowi di awal pemerintahan yang melarang menteri merangkap jabatan sebagai ketua partai politik, kemudian dipertanyakan. Bukan hanya Airlangga yang rangkap jabatan, Idrus Marham juga masih merangkap sebagai Menteri Sosial dan Sekretaris Jenderal Golkar.

Belum ada pergantian yang dilakukan Airlangga sebagai pimpinan partai berlambang beringin tersebut. Alasan Jokowi mempertahankan Airlangga karena masa jabatan yang tinggal satu tahun. "Kalau ditaruh orang baru, ini belajar kalau enggak cepat bisa setahun menguasai itu," kata Jokowi.

"Dan, kita lihat di Kemenperin Pak Airlangga menguasai, dan mengerti betul yang berkaitan dengan makro industri di negara kita, menyiapkan strategi industri hilirisasi," tambahnya.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyayangkan keputusan Jokowi melegalkan rangkap jabatan di Kabinet Kerja. Menurutnya, Jokowi inkonsisten soal larangan rangkap jabatan para menterinya.

"Intinya ya sangat disayangkan, bahwa presiden Jokowi tidak konsisten dalam memenuhi komitmennya itu, mengenai rangkap jabatan. Mestinya berlaku bagi semua tanpa terkecuali," kata Haris Haris menilai, Jokowi akan tetap mempertahankan Airlangga sebagai Menteri Perindustrian meskipun kritik terus berdatangan soal rangkap jabatan.

Peneliti senior LIPI meyakini tak akan ada perombakan kabinet selanjutnya oleh Jokowi. "Mungkin enggak ada (reshuffle kabinet), mengingat waktunya pendek. Masa pemerintahan semakin pendek," tuturnya.

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan, komitmen Jokowi melarang menteri rangkap jabatan sebagai pejabat struktur partai di awal pemerintahan hanya omong kosong belaka.

Saat ini, kata dia, Airlangga dan Idrus rangkap jabatan di kabinet Jokowi. "Ini jadi bukti kalau komitmen Joko Widodo cuma OOKS (omong-omong kosong saja)," tutur Ariefdi Disebutkan, yang patut dicurigai adalah keputusan Jokowi menempatkan Idrus sebagai Menteri Sosial. Politikus Gerindra itu menilai, ada rencana besar Jokowi untuk kepentingan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Dikatakan, Jokowi akan memanfaatkan program di Kementerian Sosial untuk mendulang suara pada Pilpres 2019 mendatang.

"Ini akan jadi instrumen kampanye Joko Widodo dengan menggunakan Bansos, Raskin, BLT dan PKH (Program Keluarga Harapan) untuk mencari suara Golkar dan Joko Widodo saat Pilpres seperti yang dilakukan SBY," tuturnya. Jokowi tengah mencari posisi aman untuk mendapatkan tiket Pilpres 2019 dengan memberikan keistimewaan pada partai yang besar di era Orde Baru itu.

Hingga saat ini PDIP belum memberikan sinyal akan kembali mengusung Jokowi untuk periode keduanya. "Jadi wajar saja Joko Widodo memperkuat posisinya di Golkar untuk masuk zona aman agar bisa nyapres," kata Arief.

Di sisi lain, Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun mengatakan, keputusan Jokowi mempertahankan Airlangga sebagai menteri, yang bersamaan juga menjabat ketum Golkar, lantaran ada deal untuk Pilpres 2019. Sehingga, kata pria yang disapa Ubed, pernyataan Jokowi mempertahankan Airlangga karena menguasai bidang industri tidak beralasan.

"Dalam perspektif politik, argumentasi Jokowi itu memiliki makna politis bahwa ada deal politik besar terkait dukungan penuh Partai Golkar terhadap Jokowi untuk Pilpres 2019," kata Ubed. Diungkapkan, kesepakatan politik antara Jokowi dan Golkar untuk Pilpres 2019 bukan hanya sekadar dukungan penuh dari partai pemenang Pemilu 2004 silam itu.

Dia menduga, Golkar telah menyiapkan kadernya menjadi calon wakil presiden guna mendampingi Jokowi dan posisi strategis lainnya di pemerintahan bila memenangi perebutan orang nomor satu di Indonesia. "Jadi tidak ada yang bisa mengalahkan komitmen Jokowi tentang penolakannya terhadap rangkap jabatan menteri dengan di partai, kecuali ada deal politik besar yang lebih menguntungkanya untuk 2019," tutur Ubed.

Ditambahkan, Jokowi telah berhasil meredam partai pendukung pemerintah lainnya, seperti PDIP, PKB, NasDem, Hanura, PPP serta PAN sehingga tak menyoal rangkap jabatan Airlangga dan menuntut dua kursi menteri yang diberikan kepada Golkar. Jokowi, kata Ubed memiliki argumentasi kuat untuk partai koalisinya.

"Karena Golkar partai terbesar kedua yang ada di koalisi pemerintah dan karena Golkar telah jelas sejak satu tahun lalu lebih menyatakan dukungan penuh untuk Jokowi Capres 2019," ujarnya. Restu PDIP Sementara Politikus PDIP Eva Sundari mengatakan, pihaknya tak mempermasalahkan rangkap jabatan Airlangga di kabinet Jokowi. Dia menilai, Airlangga lebih dulu diangkat Jokowi menjadi menteri yang kemudian dipilih sebagai ketua umum di Golkar.

Menurut Eva, sangat riskan mengganti posisi Airlangga yang tinggal mengeksekusi program kerja pada tahun terakhir pemerintah Jokowi di periode pertamanya ini. Eva menilai akan ada dampak yang cukup besar bagi presiden bila pengganti Airlangga tak bisa menyelesaikan program kerja Kementerian Perindustrian.

"Jadi sepanjang pak Airlangga sanggup, maka bisa lanjut," kata Eva Eva berkilah, larangan Jokowi kepada para menterinya rangkap jabatan di awal pemerintahan lantaran khawatir mereka tak fokus untuk merealisasikan janji Nawacita.

Anggota DPR dari Fraksi PDIP itu mengklaim rangkap jabatan saat ini bisa mewujudkan Nawacita Jokowi-JK. "Isunya tetap yaitu menjaga agar Nawacita sukses.

Double jabatan saat ini dipandang bisa mensukseskan Nawacita," tuturnya. Dikatakan, ada kepentingan politik di balik keputusan Jokowi mempertahankan Airlangga sebagai menteri meskipun juga menjabat Ketua Umum Golkar.

Menurutnya, keputusan Golkar yang baru masuk ke dalam koalisi pemerintah di tengah jalan, sehingga perlu diberikan 'keistimewaan' oleh Jokowi, dengan memperbolehkan rangkap jabatan. (fr)