Kanal

Film G 30 S PKI Diputar Lagi, Aktivis Pertanyakan Tujuan TNI AD

JAKARTA - riautribune : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat memerintahkan jajarannya di seluruh daerah mengajak masyarakat menonton film berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI. Pengajar ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada, Budi Irawanto, mengatakan pemutaran film itu seperti hendak mengulang ritual Orde Baru setiap menjelang 1 Oktober.

Dia menduga tujuan TNI adalah untuk mengingatkan masyarakat ihwal kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ihwal militer sebagai korbannya. "Film itu sarat dengan muatan propaganda yang mengedepankan versi militer terhadap peristiwa 1965," kata Budi, Minggu, 17 September 2017.

Budi, yang juga Direktur Jogja-Netpac Asian Film Festival-lembaga penyelenggara festival film-menilai pemutaran kembali film karya sutradara Arifin C. Noer itu merupakan kemunduran. Kecuali, kata dia, jika pemutaran juga dilakukan terhadap film-film dengan versi berbeda tentang kejadian 1965.

Film Pengkhianatan G 30 S PKI dibuat pada 1984. Pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film ini dihentikan peredaran dan pemutarannya karena berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden.


Rencananya, pemutaran film dilakukan pada 30 September mendatang. TNI AD telah mengirim surat edaran ke seluruh jajarannya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto membenarkan adanya surat edaran tersebut. "TNI memerintahkan seluruh prajurit dan keluarga besarnya nonton film G 30 S PKI," kata dia.

Menurut Wuryanto, pemutaran film itu penting lantaran saat ini ada upaya memutarbalikkan fakta sejarah oleh simpatisan PKI bahwa partai tersebut tidak pernah melakukan kudeta. Salah satu wujudnya, kata dia, menuntut pemerintah meminta maaf dan memberikan ganti rugi atas peristiwa 1965.

Direktur Imparsial, Al Araf, menilai pemerintah boleh saja memutar film itu karena setiap warga negara berhak mengetahui peristiwa 1965. Namun ia memberi catatan, peristiwa 1965 masih menyimpan misteri bagi banyak sejarawan, baik dalam maupun luar negeri.

Adapun Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Yati Andriyani, berharap surat edaran itu tak dijadikan legitimasi TNI untuk memaksa masyarakat menonton film tersebut. Dia menyesalkan surat edaran terbit tanpa dibarengi upaya negara mengoreksi secara terbuka ihwal korban pada peristiwa 1965.

Aparat, kata dia, malah menutup ruang-ruang diskusi publik tentang peristiwa tersebut. "Jangan ada monopoli kebenaran atas peristiwa 1965," ujarnya.(tmpo)
 

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER