Kanal

Pro-kontra fatwa MUI soal muamalah di media sosial

JAKARTa - riautribune : Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Muamalah Melalui Media Sosial. Muamalah yang dimaksud adalah proses interaksi antar individu atau kelompok yang terkait dengan hubungan antar sesama manusia meliputi pembuatan, penyebaran, akses, dan penggunaan unformasi dan komunikasi.

Fatwa itu muncul dipicu keresahan MUI atas unggahan di media sosial yang belakangan dihiasi berita hoax (bohong), fitnah, hujatan, dan ujaran permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan. Kondisi di media sosial dinilai MUI langsung berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemerintah menilai fatwa tersebut melengkapi langkah mencegah peredaran berita bohong (hoax) dan aksi saling hujat di media sosial. Terlebih dalam setiap kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan agar menjaga tata krama bermedia sosial.

Apresiasi atas fatwa MUI itu juga disampaikan pihak Polri. Polri menilai fatwa yang dikeluarkan MUI itu untuk kebaikan bersama. Namun, fatwa MUI tersebut pun mendapat kritik sejumlah anggota DPR. Salah satunya anggota Komisi I DPR dari fraksi Partai Golkar Meutya Hafid.

Dia menilai MUI tidak perlu mengeluarkan fatwa hanya untuk mengatur etika bermedia sosial. Meutya meminta Badan Siber dan Sandi Negara yang baru dibentuk pemerintah berinisiatif membuat dan mengeluarkan panduan penggunaan media sosial.

"Saya meminta BSSN juga mengeluarkan panduan media sosial. Beberapa waktu yang lalu MUI telah membuat Fatwa Interaksi di Media Sosial, saya menganggap panduan bersosmed ini tidak perlu dibuat per sektoral agama. Apalagi sampai keluarnya fatwa," kata Meutya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (6/6).

Meski menghormati MUI, namun Meutya melihat interaksi di media sosial adalah masalah umum dan tidak mengenal batasan sektoral agama. "Sebagai contoh di Malaysia, kementerian komunikasi mengeluarkan Panduan yang berisi berbagai panduan pemanfaatan media sosial oleh masyarakat. Ini berlaku kepada semua, bukan agama tertentu," sambung Meutya.

Ketua Bidang Luar Negeri DPP Partai Golkar ini juga meminta peningkatan literasi media oleh Kemenkominfo bagi seluruh masyarakat lebih khusus pada masyarakat usia dini. Menurut data APJII, pengguna aktif internet di Indonesia yang aktif mengunjungi media sosial berkisar umur 10-25 tahun yang berjumlah 24,4 juta orang (18,4 persen penduduk Indonesia).

"Tanpa adanya literasi media, masyarakat khususnya kelompok usia muda akan mudah terprovokasi oleh isu-isu murahan yang menciptakan sikap saling curiga, menyalahkan dan pada akhirnya mengancam keutuhan Indonesia. Literasi media merupakan salah satu tugas Kemkominfo yang kami harapkan sudah dijalankan hari ini," kata Meutya.

Hal senada dikatakan Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mudjahid. Menurut Sodik, dibandingkan mengeluarkan fatwa, MUI sebaiknya lebih baik gencar melakukan sosialisasi karena fitnah, menyebar kebencian atau yang tertuang dalam fatwa tersebut sejatinya memang telah dilarang oleh agama.

"Tanpa edukasi yang sistematis dan intensif maka fatwa-fatwa MUI hanya akan sebatas wacana dan ilmu saja bahkan akan diabaikan," kata Sodik.(mrdk)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER