Kanal

Jaksa Bungkam Soal Kerugian Negara

JAKARTA - riautribune : Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin, kembali menggelar sidang praperadilan yang diajukan Dahlan Iskan terkait penetapan tersangka yang dilakukan Kejagung. Agendanya, kejaksaan menjawab keberatan dari Dahlan sebagai pemohon, terkait penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mobil listrik.

Pihak kejaksaan yang diketuai Victor Antonius memaparkan jawaban tersebut di depan Hakim Tunggal PN Jaksel, Made Sutrisna.

Wilyanto selaku jaksa yang ditunjuk Kejagung menolak dengan tegas semua dalil yang disampaikan pihak pemohon. Menurutnya, penetapan Dahlan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mobil listrik sah dan sesuai prosedur. "Berdasarkan alat bukti T-1, T-2, dan T3, dalil pemohon tersebut tidak tepat dan keliru," ujar Wilyanto.

"Bahwa penyidik menetapkan pemohon sebagai tersangka bukan berdasarkan petikan putusan kasasi Mahkamah Agung RI perkara terdakwa Dasep Ahmadi Nomor 1628K/PIDSUS/2016 tanggal 7 November 2016 sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon," terang dia.

Wilyanto menegaskan, penetapan tersangka terhadap Dahlan Iskan sudah berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Termasuk telah meminta keterangan saksi dan pendapat dari ahli.

Karena itu, Wilyanto meminta hakim Made Sutrisna menerima semua eksepsi dari pihak Kejagung. Dan yang terpenting, menolak permohonan praperadilan Dahlan Iskan.

Setelah mendengarkan jawaban dari pihak kejaksaan, Hakim Made Sutrisna menyebutkan, sidang akan dilanjutkan pada Rabu dan Kamis 8-9 Maret 2017 dengan agenda pemeriksaan saksi ahli. Sedang agenda sidang pada Jumat 10 Maret 2017 masuk pembacaan kesimpulan.

Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Dahlan Iskan dalam pembacaan petitum gugatan praperadilan Senin 6 Maret 2017 kemarin meminta agar Kejagung mencabut penetapan tersangka kliennya terkait kasus mobil listrik.

Sejumlah kejanggalan Kejagung yang menetapkan Dahlan sebagai tersangka kasus pembuatan prototipe mobil listrik diungkap dalam materi permohonan praperadilan Materi permohonan sebanyak 21 lembar itu dibacakan bergantian oleh tim pengacara Dahlan: Prof Yusril Ihza Mahendra, Agus Dwiwarsono, dan Deni Aulia Ahmad.

Salah satunya, penetapan tersangka Dahlan. Yusril menganggap sprindik tersebut tak sah dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Di dalamnya tidak dicantumkan aturan hukum yang melarang suatu perbuatan dilakukan dan ancaman pidana bagi pelakunya," jelasnya. "Hal tersebut menyimpang dari ketentuan yang ada."

Karena itu, Yusril meminta hakim agar Kejagung menghentikan penyidikan. Dengan kata lain, tidak melakukan penyidikan kembali sepanjang tidak memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti baru.

Yang dimohonkan kuasa hukum Dahlan tersebut bukan tanpa dasar. Yusril menilai, penetapan kliennya sebagai tersangka penuh kejanggalan. Yang dilakukan Kejagung dalam menangani kasus mobil listrik menambah kesan bahwa mereka memang tengah mengincar Dahlan dengan berbagai kasus korupsi.

Sebagaimana diketahui, selain kasus mobil listrik, kejaksaan mengincar Dahlan dalam perkara restrukturisasi aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim serta pembangunan gardu induk.

Kejanggalan kasus mobil listrik sangat tampak ketika penetapan Dahlan sebagai tersangka hanya didasarkan atas petikan putusan kasus Dasep Ahmadi. Dasep merupakan pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama yang melakukan kerja sama pembuatan prototipe mobil listrik untuk keperluan APEC 2013 dengan tiga perusahaan BUMN (PT BRI, PT PGN, dan PT Pratama Mitra Sejati).

Sejak menangani kasus Dasep, Kejagung terkesan ingin menyeret Dahlan. Nama Dahlan dimasukkan sebagai pihak yang bersama-sama melakukan korupsi dalam dakwaan dan tuntutan Dasep. Padahal, Dahlan tak terlibat dalam kontrak ataupun proses teknis pembuatan mobil listrik.

Pengadilan Tipikor Jakarta sebenarnya telah memutus bahwa terlalu prematur mengaitkan Dahlan dengan perkara Dasep. Namun, Kejagung tak puas. Mereka pun banding. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun sama, menguatkan putusan pengadilan Tipikor. Masih belum puas, jaksa kembali menempuh kasasi.

Nah, ketika petikan putusan kasasi Dasep keluar, Kejagung langsung menetapkan Dahlan sebagai tersangka. Jaksa Agung pada sejumlah media menganggap penetapan itu bagian dari mengeksekusi putusan kasasi Dasep. Padahal, salinan putusan kasasi yang resmi sampai sekarang belum dikantongi Kejagung. "Apa yang dilakukan Kejagung seperti itu jelas tidak dibenarkan menurut hukum," ujar Yusril.

Dalam putusan itu diatur bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap hanya bisa dilakukan setelah jaksa menerima salinan putusan. Bukan sekadar petikan putusan. Sebab, petikan putusan hanya bersifat administrasi yang diberikan hanya kepada terdakwa dan kuasa hukumnya. Tidak diberikan untuk penuntut umum atau penyidik.

Yusril mempertanyakan Kejagung, dari mana mereka mendapatkan petikan putusan kasus Dasep. "Dengan cara dan alasan apa pun, tindakan termohon (Kejagung) mendapatkan petikan putusan tersebut tidak dibenarkan menurut hukum," tegas Yusril.

Gugatan praperadilan diajukan Dahlan juga karena adanya pembaruan dalam hukum di Indonesia. Yakni, menyangkut keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 25/PUU-XIV/2016 tentang pengujian pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4/2016.

Dalam putusan tersebut, MK telah menganulir frasa "dapat" untuk pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor. Sebagaimana diketahui, dalam dua pasal itu terdapat kata "dapat" yang berada pada kalimat "dapat merugikan keuangan negara". Kata "dapat" itulah yang dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, penanganan tindak pidana korupsi menurut dua pasal tersebut harus benar-benar memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata.

Putusan itu membuat penanganan korupsi tidak bisa lagi hanya atas dasar dapat merugikan keuangan negara. "Tapi, harus bisa dibuktikan bahwa negara benar-benar rugi," imbuhnya.

Selanjutnya, mengenai SEMA, Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan di seluruh Indonesia. Pada bagian A angka 6 di SEMA 4/2016, MA menentukan lembaga yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). "Pada kasus mobil listrik, BPK telah menyatakan tidak ada kerugian negara. Tapi, Kejaksaan Agung menggunakan BPKP," ujar Yusril.

Perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dalam kasus mobil listrik juga menjadi perdebatan. Sebab, BPKP menghitung kerugian berdasar total lost.

Audit BPKP dalam kasus mobil listrik itu sering menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum. Sebab, penerapan total lost sama saja memberikan nilai nol pada pengerjaan yang dilakukan Dasep Ahmadi. Padahal, faktanya, Dasep berhasil menyelesaikan pengerjaan prototipe yang dipesan tiga perusahaan BUMN.(rmol)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER