Kanal

Petinggi PDIP Sebut Ahok Memecah-belah Partainya

JAKARTA - riautribune :Komentar pedas soal Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok muncul dari politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang selama ini tak pernah berkomentar miring tentang Ahok, Andreas Hugo Pareira.

“Ahok sebenarnya memang tidak membutuhkan partai-partai politik dan konstituen-konstituen parpol,” kata Andreas via pesan singkat, Ahad, 21 Agustus 2016.

Andreas bahkan menilai pola perilaku politik Ahok adalah mengadu domba x dan memecah belah antarkader PDI Perjuangan. Dia pun menilai Ahok dengan licik mencoba mengadu domba Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat dengan partainya, PDI Perjuangan. “Berlindung dibalik ceritanya tentang dukungan dari Ketum PDIP,” ucapnya.

Andreas menanggapi klaim Ahok bahwa Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri telah mendukung dia sebagai calon gubernur. Dukungan itu, menurut dia, disampaikan dalam pertemuan di kantor pusat PDIP Perjuangan pada Rabu sore sekitar pukul 16.00 WIB, 17 Agustus 2016. Kontroversi pun muncul di publik sebab PDI Perjuangan DKI Jakarta menyatakan menolak Ahok. Belakangan Ahok menganulir pernyataannya dan menyatakan itu pendapat pribadinya.

Kemudian Ahok menyatakan bahwa kedatangannya ke kantor partai banteng itu hanya untuk meminta izin meminang Djarot menjadi calon wakil gubernur mendampingi dia. Ahok bahkan menegaskan, dirinya tak meminta dukungan PDI Perjuangan sebab dukungan tiga partai sebelumnya sudah cukup. "Saya enggak minta PDIP (gabung), loh. Saya minta Djarot mau enggak ikut saya jadi wakil." kata Ahok di Balai Kota DKI, Jumat, 19 Agustus 2016.

Pernyataan Ahok itu dibantah oleh Andeas. Menurut dia, dalam pertemuan yang juga dihadiri para petinggi partai itu Ahok meminta dukungan PDI Perjuangan. “Saya tahu pembicaraannya,” ujarnya.

Andreas yang juga Ketua PDIP Perjuangan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan, semakin jelas terlihat perilaku Ahok dalam mencapai kekuasaan. Ahok melihat partai politik hanya sebagai kuda tunggangan untuk mencapai tujuan, yakni berkuasa di DKI Jakarta.

Dia juga berpendapat bahwa cara berpikir Ahok sangat pragmatis, semua cara bisa digunakan. “Entah itu Teman Ahok, entah itu parpol atau apapun alat yang digunakan yang penting adalah dia berkuasa.” Setelah berkuasa, Andreas melanjutkan, Ahok akan dengan mudah mencampakkan alat itu jika dirasa tidak lagi bermanfaat.

Penilaian Andreas itu berdasarkan fakta bahwa karir politik Ahok yang “loncat” dari satu partai ke partai lainnya. Ahok memulai dengan bergabung di Partai Indonesia Baru yang mengantarkan dia menjadi Bupati Belitung Timur. Ahok lalu berpindah ke kapal Partai Golkar untuk menjadi anggota DPR RI 2009-2014. Kemudian pada 2012, dia hengkang dari DPR dan Golkar ke Partai Gerakan Indonesia raya (Gerindra) untuk menjadi Wakil Gubernur DKI mendampingi Gubernur Joko Widodo.

“Ketika terpilih menjadi wakil gubernur, Ahok meninggalkan Gerindra,” ucap Andreas.

Andreas menuturkan, kini menjelang Pemilihan Gubernur 2017 Ahok membentuk tim sukses bernama Teman Ahok agar bisa maju via jalur perseorangan. Lewat Teman Ahok, diklaim bisa mengumpulkan 1 juta KTP dukungan. Tak sampai bereksperiman di jalur perseorangan, Ahok banting setir ke jalur parpol dengan dukungan Partai NasDem, Partai Hanura, dan Golkar.

Sekarang, Ahok kembali mendekati PDI Perjuangan yang setia mendukung dia sejak 2012. Tapi, kata Andreas, dengan memainkan politik memecah belah.

Dengan track record loyalitasnya yang buruk dan political tricky yang sangat licin, menurut Andreas, bukan hanya PDI Perjuangan yang perlu berpikir ulang untuk mengusung Ahok. Partai-partai yang sudah mendukung dia pun perlu berpikir lagi untuk dukungannya kepada Ahok. “Itu kalau tidak hendak menjadi korban pragmatisme Ahok,” kata Andreas.(tmpo/rt)

 

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER