Kanal

Tanah Rempang; Negara Tanpa Kesejahteraan

Oleh : Dr. Eddy Asnawi, Dosen Fakultas Hukum Unilak

KITA bisa menyaksikan, bagaimana tindakan represif negara kepada rakyatnya jika sudah menyangkut persoalan status hak tanah, dengan dalih milik negara untuk segera dikosongkan, digusur, dipindahkan ataupun direlokasi bagi masyarakat yang telah mendiami tanah tersebut. Seringkali hal ini menimbulkan kegaduhan, karena isu hak tanah menjadi sesuatu yang sensitif dan menjadi bagian dari kelangsungan hidup rayat untuk masa depannya. 

Seperti kasus masyarakat melayu Pulau Rempang-Galang, Batam, yang hari demi hari bisa kita simak berita tentang Rempang menjadi isu nasional ibarat air mengalir deras . Bentrok fisik disertai kekerasan antara aparat keamanan dengan masyarakat Pulau Rempang yang menuntut hak atas tanahnya menjadi tak terhindarkan, karena dipaksa untuk pindah dari tanah tempat kelahirannya atas nama investasi. Konon kabarnya ada  16 kampung yang masyarakatnya akan direlokasi. 

Pulau yang seluas 17.000 ha akan dikosongkan dari penduduk,  yang diyakini sudah ada sejak tahun 1800-an, sebelum negara republik ini berdiri . Pemerintah telah mencanangkan  proyek strategis nasional di Pulau Rempang dengan melakukan pembangunan besar-besaran. Konon akan diubah menjadi kota wisata dan kawasan industri. 

Kalau kita mau telisik, menghangatnya  Isu Pulau Rempang, ketika dimulainya Pemerintah Indonesia menjalin kerjasama berupa penandatangan MOU dengan salah satu perusahaan kaca Cina pada tanggal  28 Juli 2023 di China guna membangun industri pasir kwarsa (bahan baku kaca). Dari titik inilah pengosongan penduduk dimulai yang pada akhirnya menimbulkan perlawanan masyarakat Pulau Rempang yang ingin tetap tinggal di tanah leluhurnya. 

Implikasinya bisa kita bayangkan, hilangnya sumber mata pencaharian penduduk yang sudah dijalani selama ini, tergusurnya akar budaya melayu yang tumbuh dan berkembang atas nama investasi  tanpa melibatkan warga selaku objek selaku pemilik tanah. Dan tak kalah penting adalah secara suasana kebatinan (fisikis) masyarakat tempatan yang meninggalkan tanahnya yang sudah dihuni leluhurnya sejak dulu kala, bahkan ratusan tahun yang lalu. Goresan hati yang lara dan nestapa, walaupun mendapatkan kompensasi dari pemerintah sekalipun .  

Merujuk pada amanat UUD 1945 sebagai konstitusi yang “living law”, ketentuan Pasal 33  ayat (3) menegaskan ; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya apa, dalam hak atas tanah , makna “dikuasai oleh negara” dalam Pasal tersebut, menunjukan kewenangan/hak administratif pemerintah atas tanah saja, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk regulasi . 

Dalam hal ini posisi negara/pemerintah sebagai regulator. Namun demikian sangat sering terjadi benturan antara hak yang seharusnya milik rakyat dengan hak administratif pemerintah atas tanah. Seperti kasus tanah di Pulau Rempang. Menjadi absurd,  kalau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN ) Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan, karena masyarakat yang menempati Pulau Rempang  tidak memiliki sertifikat kepemilikan (SHM). Karena semua ada di bawah otorita Batam, merupakan hak pengelolaan lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada perusahaan terkait (16/9/2023). 

Seharusnya kalau pemerintah mau berlaku adil, menjadi kewajiban pemerintah memberikan hak atas tanah pada masyarakat Rempang yang sebenarnya mempunyai hak. Apalagi telah turun-temurun mereka menempati, menggarap dan menjadikan penghidupan di kawasan Pulau Rempang. Alhasil, sampai sekarang pemerintah belum tuntas memenuhi janjinya  menyelesaikan surat hak untuk masyarakat yang telah puluhan tahun bahkan ratusan tahun menempati tanah di banyak kawasan di semua kepulauan Indonesia, khususnya di Rempang, sebagaimana janji kampanye Presiden Jokowi di periode ke 2 pemerintahannya.  

Jangan dikemudian hari, karena keterbatasan pemerintah dalam memberikan hak atas tanah kepada rakyat, kemudian hari ketika ada investasi atas nama proyek strategis nasional di kawasan suatu tempatan, yang sebenarnya ada masyarakat yang seharusnya mempunyai hak atas tanah tetapi tidak memiliki surat hak, lalu mendalilkan tiadanya surat hak kepemilikan, sebagai alasan menggunakan kewenangan pemerintah menggusur rakyat. 

Efeknya pada kesejahteraan dan penghasilan masyarakat terus menurun dikarenakan kehilangan tanahnya. Sudahlah tanah tak dapat, dikonversi ke dunia usaha atau konglomerasi menjadi investasi. Tawaran pekerjaan ke masyarakat yang ada hanya sebatas buruh di pusat investasi tersebut. Akhirnya bukan menciptakan kesejahteraan masyarakat, sebaliknya menciptakan  kemiskinan baru di masyarakat Rempang. 

Maka sesungguhnya amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 tesebut menjadi tak bermakna lagi kata-kata yang menyebutkan :  “dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jauh dari negara kesejahteraan dan negara gagal mengawal konstitusi sebagai penyangga  hak-hak rakyat .Wassalam. 

Pekanbaru, 18 September 2023.

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER