Kanal

Data Kemdikbud: 11 Bahasa Daerah di Indonesia Punah, Maluku Terbanyak

YOGYAKARTA, Riautribune.com - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah.

Berdasarkan data yang diberikan Kemendikbudristek, Provinsi Maluku menjadi daerah yang paling banyak kehilangan bahasa daerah yakni sebanyak delapan bahasa. Sementara itu, tiga bahasa lainnya berasal dari Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.

Adapun bahasa daerah yang punah antara lain Bahasa Tandia dari Papua Barat, Bahasa Mawes dari Papua, dan Bahasa Ternateno dari Maluku Utara.

Kemudian Bahasa Kajeli/Kayeli, Bahasa Piru, Bahasa Moksela, Bahasa Palumata, Bahasa Hukumina, Bahasa Hoti, bahasa Serua, dan Bahasa Nila dari Maluku.

Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek, M Abdul Khak mengatakan kepunahan 11 bahasa daerah itu disebabkan banyak hal, dan masing-masing berbeda-beda penyebabnya.

"Secara umum disebabkan oleh globalisasi yang mengarah ke monolingualisme, kawin silang atau campur antarernis, migrasi dan mobilitas tinggi, serta sikap bahasa penutur jati," kata Khak, Rabu (29/6).

Sebagai informasi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek mengategorikan status bahasa daerah di Indonesia menjadi kategori aman, stabil tetapi terancam punah, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah.

Status aman artinya bahasa daerah masih dipakai oleh semua anak dan semua orang dalam etnik tersebut. Ada 25 bahasa daerah yang masuk dalam status aman.

Status stabil tetapi terancam punah artinya semua anak-anak dan kaum tua menggunakan bahasa daerah tetapi jumlah penutur sedikit. Ada 19 bahasa daerah yang masuk dalam status ini.

Kemudian, status mengalami kemunduran artinya sebagian penutur anak-anak, kaum tua, dan sebagian penutur anak-anak lain tak menggunakan bahasa daerah. Ada tiga bahasa daerah yang masuk dalam status mengalami kemunduran.

Status terancam punah artinya semua penutur 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri. Ada 25 bahasa daerah yang masuk dalam status ini.

Selain itu, status kritis artinya penutur bahasa daerah berusia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. Ada enam bahasa daerah yang masuk dalam status kritis.

Terakhir, status punah yang artinya tidak ada lagi penutur bahasa daerah. Ada 11 bahasa daerah yang masuk dalam status punah.

Kekinian, Kemendikbudristek menyatakan setidaknya lima bahasa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masuk dalam program revitalisasi bahasa daerah tahun 2022.  Lima bahasa ibu tersebut yakni bahasa Dawan, bahasa Manggarai, bahasa Kambera, bahasa Rote, dan bahasa Abui.

Abdul Khak menuturkan NTT merupakan provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah bahasa daerah terbanyak. Dari 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia, 72 di antaranya berasal dari NTT.

"Revitalisasi ini merupakan upaya untuk mencegah bahasa daerah punah terlalu, dan nilai-nilai kebahasaan tersebut masih dapat diketahui dan digunakan oleh generasi berikutnya," kata dia.

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER