Kanal

Hanya Karena Salah Duga BLH Lupa Chek Peralatan Penanganan Kebakaran Perusahaan-Perusahaan di Riau

PEKANBARU-riautribune: Dialog antar elemen dalam mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan pada diskusi Mengakhiri Bencana Kabut Asap, Senin (1/2) menyisakan sedikit cerita. Salah satu terkait lemahnya pengawasan instansi terhadap kelengkapan peralatan penanganan kebakaran yang dimiliki perusahaan. Berawal cerita seorang warga asal Sungai Pakning, sebuah perusahaan yang dekat dengan pemukiman penduduk di daerah itu hanya memiliki tiga alat, untuk menangani lahan yang luasnya berhektar-hektar. Kewenangan pengawasan terhadap peralatan perusahaan-perusahaan tersebut berada di tangan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau.

"Memang di tahun 2015, kami tim BLH provinsi yang tergabung dalam tim UPH 4, dari ratusan perusahaan yang terdata di BLH provinsi ditemukan ada 14 perusahaan ketika itu tidak memiliki peralatan memadai. Padahal luas lahan yang mereka kelola ber hektar-hektar. Kami langsung memberi peringatan, satu tahun kami bina, hingga saat ini mereka telah lengkapi," kata H. Martin salah seorang pejabat dilingkungan BLH Provinsi Riau.

Pernyataan yang cukup mengejutkan ini menyisakan tanda tanya, bagaimana setiap perusahaan mengajukan izin. Terlebih instasi terkait melakukan pengecekkan terhadap kelengkapan peralatan, terutama dalam mengantisipasi terjadinya kebakaran. "Apakah di tahun 2010, 2011, 2012, 2014, tim BLH tidak melakukan pengecekan ke perusahaan yang ada di Riau," tanya wartawan riautribune dalam forum yang dihadiri Staf Ahli Menteri LHK Hanny Hadiati, MSi, peneliti Universitas Riau Prof. Dr. Ashaluddin Jalil, Dr. Haris ahli gambut, perwakilan GAPKI, I Made dari Jikalahari, dan Perwakilan Bapeda Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak.

Menanggapi hal tersebut Martin menuturkan, memang ada kealfaan dari tugas dan tanggung jawab yang harusnya dijalankan instasinya. "Karena memang, kita menduga ketika izin HPH perusahaan itu dikeluarkan pusat dari beberapa kementerian, harusnya kelengkapan terhadapa peralatan antisipasi kebakaran, hendaknya juga dicek. Kami memang lemah juga berkoordinasi dengan instasi terkait di kabupaten/ kota, yang memang lebih mudah melihat. Belajar dari pengalaman tahun 2015, maka untuk tahun 2016 ini kami kian perketat pengecekan,"ujar Martin lagi.

Bukan hanya persoalanan pelaksanaan tugas yang kurang serius, dalam dialog yang ditaja CIfor ini, sebuah pusat studi lingkungan yang berdomisili di IPB, bekerjasama dengan pusat studi bencana Universitas Riau bertajuk, "Penguatan Aksi Nyata Multi Pihak pada Tingkat Tapak, Mengakhiri Bencana Kabut Asap" ini banyak ditemukan fakta baru. Dialog dan pelatihan forum negeri bersih Jerebu, juga membuka cerita bahwa Masyarakat Perduli Api (MPA) hanya mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten kota.

Seperti misalnya di Kabupaten Bengkalis, setiap anggota MPA yang berjumlah 5 orang, hanya dibekali dana Rp300ribu rupiah per orang. Berbeda dengan Kabupaten Siak yang mengagarkan dana operasional Rp2juta per aksi. Namun tidak tergambarkan partisipasi anggaran dari kementerian atau instasi pemerintah pusat.

Menyikapi hal ini, Staf Kemen LHK Hanny Hadiati menjelaskan, bahwa sebenarnya bukan pemerintah  pusat tidak mau membantu. "Bukan kami tidak mau membantu, atau kami tidak memiliki anggaran. Justru anggaran kami banyak. Tetapi kami dihadang oleh aturan hukum. Bahwa pemerintah tidak boleh lagi menggarkan program yang bentuknya Bansos. Karena masih terbentur aturan itu, maka kami tidak maksimal dalam melaksanakan program. Namun kami tegas, di tahun 2016 kita akan lebih fokus. Harapan kita jangan ada lagi kabut, asab," kata Hanny tegas. (yan)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER