Kanal

Asap: Bencana Atau Rencana

PEKANBARU - riautribune : Sudah hampir satu bulan asap di beberapa wilayah Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan, dirasakan masyarakat. Bahkan asap juga dirasakan oleh beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Konyolnya lagi, pasca kedatangan Presiden ke Riau, asap semakin tebal. Bahkan pertanggal 23 September konsentrasi "PM 10" di Pekanbaru atau ISPU menembus angka 650 ke atas. Pada hari itu juga Gubernur Riau melalui Keputusan Gubernur Riau Nomor: Kpts. 1048/IX/2019 tentang Penetapan Keadaan Darurat Pencemaran Udara di Provinsi Riau Tahun 2019, menyatakan di dalam Diktum Kesatu bahwa “Menetapkan Keadaan Darurat Pencemaran Udara di Provinsi Riau Tahun 2019”.

 

Keputusan Gubernur Riau Nomor: Kpts. 1048/IX/2019 sebenarnya keputusan yang lambat. Padahal Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menyatakan bahwa apabila hasil pemantauan menunjukkan ISPU mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya, maka Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.

 

Sorenya (23/09), setelah terbitnya Keputusan Gubernur Riau, rasa bahagia dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Riau karena hujan turun. Walaupun sebentar tetapi cukup membuat status udara turun dari bersimbol Hitam (Berbahaya) menjadi Kuning (Tidak Sehat) di malam harinya.

 

Harapan sebagian besar masyarakat hanya pada hujan. Karena hanya hujan yang mampu menghilangkan asap dengan cepat dari pada upaya-upaya yang dilakukan pemerintah. Bahkan di banyak tempat telah dilakukan shalat isthisqo’, artinya tumpuan terakhir manusia tetap tertuju pada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Ini menandakan bahwa pemerintah belum mampu menanggulangi masalah asap yang setiap tahunnya selalu menjadi musim baru bagi masyarakat Riau, sehingga masyarakat sangat bergantung pada kuasa Ilahi.

 

Padahal masalah asap ini adalah ulah tangan jahil orang-perorangan dan/atau korporasi untuk kepentingan profit mereka. Mereka menggampangkan pembukaan lahan dengan melakukan pembakaran hutan dan lahan. Bahkan di tengah-tengah masyarakat beredar Pemeo yang menyatakan bahwa “Habis Hutan/Lahan Dibakar, Maka Sawit akan Terhampar”.

 

Seolah menjadi pemakluman karena setiap tahun selalu menggunakan cara yang sama yaitu dengan membakar hutan atau lahan. Inilah mengapa masyarakat tidak terlalu berharap lebih kepada pemerintah dalam hal penyelesaian permasalahan asap ini.

 

Sore ini (24/9) hujan rintik-rintik kembali menjawab harapan masyarakat. Setelah itu matahari mulai berangsur-angsur menampakkan dirinya, langit biru mulai kelihatan di sela-sela awan dan kabut. Seakan menyapa manusia yang rindu akan hal itu.

 

Agaknya setelah tunduknya ego manusia, ego penguasa dan ego pemerintah, alam pun kembali menyapa ruang-ruang persahabatan antara manusia dengan lingkungannya. Mungkin alam hanya ingin menundukkan ego manusia. Nyatanya tidak lama-lama, setelah keluarnya Keputusan Gubernur Riau, setelah banyaknya manusia yang menyelenggarakan shalat Isthisqo’ dan banyaknya manusia berdoa serta bertobat, maka alam melalui kuasa Ilahi pun kembali bersahabat dengan manusia.

 

Walaupun hutan dan lahan dibakar oleh manusia, tetapi kuasa alam sebagai manifestasi dari kuasa Tuhan tetap saja membantu manusia.

 

Dapatkah problem asap ini disebut dengan bencana? Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

 

Melihat pengertian tersebut dan fakta yang terjadi maka pertama, asap telah menimbulkan korban jiwa manusia. Terdapat 3 (tiga) orang meninggal dunia, bahkan 1 (satu) orang anak bayi yang masih berumur 3 (tiga) hari pun telah menjadi korban keganasan asap. 

 

Kedua, asap menimbulkan kerusakan lingkungan. Faktanya adalah banyak lahan dan hutan terbakar yang dilakukan oleh orang-perorangan dan/atau korporasi.

 

Ketiga, asap menimbulkan kerugian harta benda. Ladang warga terbakar karena rembesan api, rumah warga, dan banyak hasil usaha yang mengalami kerugian. Jika merujuk dari data Jikalahari, asap karhutla telah menimbulkan kerugian materiil lebih dari Rp. 50 triliun.

 

Keempat, asap menimbulkan dampak psikologis. Faktanya anak-anak yang diliburkan sekolah, tidak bisa bermain di luar, dikurung dirumah, juga sudah mengalami kebosanan, dan diperkirakan juga psikologis mereka terganggu.

 

Akibat-akibat yang ditimbulkan asap tersebut masuk ke dalam kriteria-kriteria bencana. Di tambah lagi asap ini juga terjadi di sebagian besar wilayah-wilayah yang berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Kedua pulau ini termasuk pulau-pulau besar di Negara Republik Indonesia.

 

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Presiden tidak menetapkannya sebagai Bencana Nasional? Padahal semua kriteria-kriteria bencana telah terpenuhi. Seberapa penting status asap disebut sebagai Bencana Nasional?

 

Pertama, anggaran negara akan terporsir ke wilayah karhutla dan itu bukan dana yang sedikit, dan; Kedua, fokus Presiden akan terbagi, ditambah lagi pada saat bersamaan banyak gejolak yang terjadi seperti di Papua, RUU KPK, RKUHP, RUU Ketenagakerjaan, dan permasalahan Politik serta Pilpres yang masih menjadi polemik panjang.

 

Seharusnya Presiden memiliki rasa sensitivitas di dalam dirinya, bahwa problem asap, include di dalamnya permasalahan HAM, Humanisme, dan Lingkungan. Bahkan karena terpapar melibatkan kaum manusia dan alam, bisa jadi ini masalah serius yaitu genosida, ekosida, serta cosmosida. Yaitu upaya membunuh kaum manusia, alam, dan kosmos.

 

Apakah logika dan paradigma penguasa dan jajarannya sampai ke sana? Yang membuat hati rakyat perih lagi ialah oknum-oknum pejabat yang mengeluarkan kata-kata yang jauh dari adabnya orang timur.

 

Apakah problem asap ini sebagai upaya yang terencana? Jika dilihat dari ritme dan tanda-tandanya, ada upaya sistemik dalam problem asap ini. Pertama, problem asap ini adalah problem tahunan yang tidak pernah putus. Kedua, lahan dan hutan yang terbakar sebahagian besar lahan-lahan yang di bawah kuasa korporasi. 

 

Ketiga, jika dilihat dari satelit, area yang terbakar di sebagian tempat terlihat rapi. Keempat, setiap terjadinya asap, dapat dipastikan banyak area yang terbakar walaupun hotspot (titik apinya) berada di beberapa tempat yang terpisah-pisah. Agaknya sebagian menjadikan momen tersebut menjadi momentum agar sulit dikontrol karena banyak lahan terbakar.

 

Asumsinya dengan melihat ritme asap ini, maka dapat dikatakan ada upaya sistemik di dalamnya sehingga terencana dengan matang.

 

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus jeli dengan upaya-upaya yang dilakukan pembakar lahan dan hutan. Pemerintah harus tegas dalam hal ini. Jika si pembakar adalah korporasi (perusahaan) maka cabut izinnya. Bila orang-perorangan dan/atau perusahaan yang melakukan pembakaran dan ditemukan delik pidananya maka segera diproses dengan cepat agar rakyat merasa bahwa negara hadir untuk membela rakyat.

 

Sekiranya mereka dapat dijerat dengan, Pertama, Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp. 10 miliar. 

 

Kedua, Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang berbunyi seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar, dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp. 10 miliar, dan; ketiga, Pasal 78 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan bahwa pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp. 5 miliar. Ancaman yang cukup untuk menimbulkan efek jera.

 

Penulis oleh Dr.Hengki Firnanda

Pemerhati Hukum Lingkungan dan saat ini Akademisi Universitas Riau

Disadur dari Tulisan The Columnis

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER