Kanal

Karya Fedli Azis 'Padang Perburuan' Meriahkan Kenduri Seni Rakyat Riau 2019

PEKANBARU - riautribune : Penampilan Lembaga Teater Selembayung-Riau, memukau pengunjung Kenduri Seni Rakyat Riau 2019 yang dilaksanakan di Taman Budaya Riau, Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Jalan Sudirman Pekanbaru Pada Senin (15/07/19) malam kemarin.

Kali ini karya Fedli Aziz dengan berjudul 'Padang Perburuan'. Dimana, Karya yang sebelumnya disuguhkan pada helat Pekan Teater Nasional (PTN) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan sudah kedua kalinya pula disuguhkan bagi pecinta seni Kota Pekanbaru.

" Setelah tampil di Ajang Teater Sumatera (ATS), tampil pula di PTN, dilanjutkan ke helat Gondang Oguang Art Festival di Lipatkain (Kampar)," ujar Rina NE selaku pimpro 'Padang Perburuan'.

Kemudian kata Rina, tampil pula di helat Silek Art Festival di ISI Padangpanjang, dan Kota Pekanbaru. Kali ini, untuk kedua kalinya ditampilkan lagi buat publik Pekanbaru.

“Karya ini memang kami azamkan untuk dihela keberbagai perhelatan, baik mengikuti undangan pihak luar, maupun program rutin Teater Selembayung sendiri yang kami beri nama Mengarak Teater,” tutur Rina.

Sebut dia lagi, usai tampil pada Kenduri Seni Rakyat Riau nanti, karya ini akan ditampilkan di tiga Kota Sumatera seperti Jambi (19/7/2019), Palembang (21/7/2019), dan (23/7/2019) di Kota Bengkulu.

" Selain itu, juga akan disuguhkan buat masyarakat Kota Bagansiapiapi pada bulan Agustus tahun 2019 mendatang," jelasnya.

Rina juga mengatakan, karya ini memang diharapkan bisa menawarkan wacana dalam berbagai sudut pandang. Seperti, tawaran wacana tentang ekologi di Riau, maupun konsep penggarapan yang berangkat dari kekuatan lokalitas.

Fedli Azis menjelaskan, proses karya Padang Perburuan' telah dimulai sejak 2016 dan terus berproses hingga hari ini. Untuk karya kali ini, Fedli berangkat dari esai budayawan Riau UU Hamidy berjudul, “Riau, Nasibmu Kini, sebagai Padang Perburuan”. 

Sebutnya, melakukan pembacaan sejarah Riau sejak berdiri hingga hari ini. Pembacaan mendalamnya terfokus pada tabiat dan kelakuan menyimpang para pemimpin negeri ini dari waktu ke waktu.

Fedli sendiri mengambil sample atau pemisalan kekinian dari esai tersebut yakni menyoal pembangunan PLTA Koto Panjang di XIII Koto Kampar. Pemisalan ini tentu saja berkait dan dengan tabiat menyimpang para penguasa negeri ini.

Hipotesa atas praktik antara pengusaha dan penguasa jelas terbaca dari berbagai catatan beberapa pihak saat proyek raksasa itu direncanakan, dimulai, dan saat pembangunan berlangsung. Bahkan setelah proyek itu berjalan sepanjang 27 tahun terakhir, rakyat yang terkena dampak langsung proyek itu tak henti-hentinya merugi.

Jelas Fedli, pembangunan proyek tersebut menenggelamkan 10 kampung. Lalu, perjanjian akan mengganti kawasan kampung baru dengan narasi setiap KK mendapat lahan perkebunan seluas dua hektare, serta rumah layak huni tak pernah wujud.

Pembangunan itu menjadi lahan pekerjaan bagi masyarakat juga tak pernah terjadi. Selain itu, pasokan listrik gratis ke rumah-rumah warga yang terdampak langsung juga hanya kebohongan belaka. Tidak hanya itu, pemindahan gajah-gajah, dan binatang langka lainnya juga tak jelas duduk tegaknya, dan masih banyak lain soalan-soalan yang menyengsarakan masyarakat.

“Lebih parah lagi, jika sebelum pembangunan PLTA masyarakat hanya mengalami banjir tahunan sekali setahun, setelah pembangunan banjir terjadi berkali-kali. Tidak hanya merendam 10 kampung, tapi ratusan kampung sekitar kawasan proyek. Tidak ada solusi kongkrit dalam penyelesaian masalah itu, masyarakat dibiarkan mencari solusinya sendiri,” terangnya.

Himpitan masalah yang diciptakan itu, sebutnya menjatuhkan mental dan semangat hidup dalam kebersamaan masyarakat. Sedang pihak penguasa yang berkuasa pada saat pembangunan direncanakan dan dimulai seperti perusahan energi Jepang, pemerintahan Orde Baru pusat, provinsi, dan kabupaten hingga kini tak tersentuh hukum sama sekali.(sa)
 

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER