Kanal

Birokrat TAUKE, Dan Pemilukada

Sebuah fenomena baru kini lahir dalam pergulatan pelaksanaan Pilkada di daerah, actor baru yang kemudian saya sebut sebagai Birokrat Taukeh.

Tahun 2015 tepatnya bulan oktober, saya membaca sebuah artikel penulis senioar di Investor Daily yang berjudul  “Mewaspadai Politisasi Birokrasi Dalam Pilkada”. Sebuah kegelisan penulis tentang beratnya tantangan pemilukada yang dihadapi oleh kalangan PNS elite, bahwa mereka hadir untuk melayani atasannya yang maju sebagai kepala daerah. Sebagai bawahan dan posisi yang diperintah ketika itu, banyak birokat yang akhirnya harus berjibaku terlibat memberikan sejumlah fasilitas demi kemenangan petahana dalam pemilukada.

Ada sebuah analisis sederhana yang kemudian dimunculkan oleh sang penulis ketika itu yang kemudian saya kutip untuk menjadi ilustrasi pemikiran para pembaca di artikel ini.

“……Dendam politik pemenang perang dilampiaskan dalam bentuk mutasi para pejabat struktural yang tidak mendukungnya atau mendukung lawan politiknya. Beberapa di antaranya bahkan mengalami demosi, digantikan figur dari tim sukses dan pendukung paslon pemenang sebagai balas budi politik…”

 

Pemaparan diatas sedikit gambaran pergulatan Pilkada dimasa itu, dan selalu menjadi fenomena yang dihadapi oleh kalangan elite birokrat di daerah-daerah yang menggelar Pemilukada.

Beberapa tahun terakhir ini, fenomena ini justru bergeser, penulis mendapati fenomena yang berbeda. Peningkatan kesejahteraan ASN dan beberapa kebijakkan yang mendorong lahirnya pendapatan maksimal dikalangan birokrat elite, justru melahirkan munculnya aktor baru yang ikut bermain Pemilukada. Mereka memilih untuk menjadi pemain aktif, dari pada actor pasif yang menurut mereka hanya akan menjadi korban

 

Secara sederhana penulis menggambarkannya sebagai “Tauke”…..atau bisa kita sebuat sebagai “Birokrat Taukeh”. Jika kita melirik kamus bahasa Indonesia tauke berarti pemilik perusahaan atau “majikan”. Dibeberapa daerah perkebuhan Tauke ini dikenal sebagai pihak yang mampu membayar uang di depan, sebagai tanda jadi.

Contoh kasus, penangguhan keberangkatan haji Sekda Dumai Muhammad Nasir yang baru saja dilantik sebagai Sekda, sebelumnya menjabat sebagai Kadis PU Bengkalis dan dikenal sebagai Birokrat yang cukup bermodal besar. Bahkan bukan rasia umum lagi, diawal Pilkada M Nasir ditenggarai turut menjadi pemodal bagi pasangan Wako Dumai, sehingga sinyalnya tidak berapa lama Wako terpilih, akhirnya M Nasir lah yang dilantik menjadi Sekda kota Dumai.

Kedua, kasus di Sumatera selatan kota Palembang, Ucok Hidayat (UH) turut diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dugaan kasus skandal suap Pemilihan Walikota (Pilwako) Palembang tahun 2013 silam di Polresta Palembang. Bahkan ketika terjadi sengketa pilkada, Ucok sempat di hebohkan di program Lawyer Club TV one, yang bersangkutan tertangkap tangan membawa uang lebih dibandara dengan alasa untuk membeli alat berat Pemda. Ini menjadi sebuah indikasi awal Sang Setko turut bermain memenangkan “Petahana”.

Dua kasus ini memberikan sebuah fenomena baru dalam Pilkada di daerah, bahwa Birokrat elite telah berobah dari seorang pelayan publik, perancang kebijakkan terhadap publik, justru menjadi seorang pemodal bagi petahana atau salah satu kandidat yang bertarung dalam Pemilukada.

Dari pengamatan penulis, gerakkan birokat ini ada yang secara sembunyi-sembunyi dan ada yang beraksi secara nyata. Tujuan dari tindakkan mereka adalah imbal balik jabatan, kenaikkan pangkat bahkan jaminan untuk memperoleh posisi-posisi basah.

Logika kekhawatiran penulis sebelumnya tentang keretanan posisi Birokrat, saya balik saat ini, mereka bukan lagi korban tetapi telah menjadi pemain aktif dalam pemilukada. Sebagai masyarakat awam, kita tidak serta merta bisa menjustifikasi mereka sebagai pihak yang bersalah, atau stigma bagi tauladan pemimpin.

Frank J. Goodnow (1900) dengan tegas mengatakan bahwa: kendati sama-sama melekat pada institusi government, tetapi politik dan administrasi merupakan dua fungsi yang berbeda. Politik adalah fungsi yang berkaitan dengan masalah expression the state will dan administrasi adalah fungsi yang berkenaan dengan soal the execution of these policies (Goodnow, 1900, dalam Shafritz & Hyde, 1997: 27)

 

Argumen yang dikembangkan framework Wilsonian ini tidak mampu mencegah keterlibatan birokrasi dalam proses politik. Asumsi paradigmatis Wilsonian yang mengandaikan peran birokrasi semata-mata sebagai eksekutor dan implementor yang dituntut memiliki kemampuan teknis-manajerial dan tidak memiliki kepentingan apapun ternyata bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Birokrasi ternyata bukan hanya kumpulan robot, sistem, dan prosedur belaka. Lebih dari itu, birokrasi merupakan kumpulan orang yang memiliki perbedaan pandang, kepentingan, nilai, motivasi, kompetensi teknis, dan sebagainya.

 

Aktor politik hanya akan bisa terlibat aktif dalam proses politik ketika ia memiliki power. Nah, tentu kita bertanya seperti apa power yang dimiliki Birokrat??, Birokrasi memiliki beberapa sumber kekuasaan, penguasaan informasi dan keahlian, kewenangan yang terkait dengan pengambilan kebijakan, memonopoli legitimasi politik dan instrumen koersif, sifatnya yang permanen dan stabil, diskresi, penguasaan resources, perannya sebagai personifikasi negara ( seperti yang ditulis oleh Peter, 1987: 50; Caiden, 1982: 90-92; Mas'oed, 1995:))

 

“………….Dengan power ini birokrasi melakukan proses tawar menawar dengan aktor politik lainnya. Dan, seperti diungkapkan Long (1949), the lifeblood of administration is power,”

 

Semoga dengan gambaran ini, pembaca bisa memahami bagaimana kemudian saya menyimpulkan ada aktor baru dalam pemilukada yang saat ini aktif sebagai pemain, baik mensukseskan salah satu pasangan calon, ataupun sebagai pemodal.

 

Yandri Rahman Sauqi,SIP,MSi

Penulis alumni ilmu Hubungan Internasional dan Pemerhati masalah-masalah politik di Riau

Bermastautin di Pekanbaru.

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER