Kanal

Saiman: Jangan Mengundang Kecurigaan

PEKANBARU-riautribune: Pertelagahan eksekutif dan legislatif dalam pembahasan APBD-P Provinsi Riau mengkhawatirkan sejumlah pihak. Pertentangan tersebut mengemuka terkait sikap anggota legislatif yang tidak mau membahas RAPBD-P, jika eksekutif tidak membawa RKA.

Anggota dewan, merasa dikibuli oleh Satker yang tidak membawa serta RKA (Rencana Kegiatan dan Anggaran) dalam hearing. Sebab, mereka merasa hanya disodorkan sejumlah program atau kegiatan tanpa tahu rincian dari kegiatan yang akan dilakukan Satker. "Kami tidaka akan membahas APBD-P. Bagi satker yang hearing tidak membawa serta RKA silakan kembali ke kantornya" kata Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldy Jusman menanggapi hal itu.

Pernyataan dewan yang tidak akan membahas APBD-P dikarenakan tidak membawa RKA saat hearing, menimbulkan kekhawatiran kalangan akademisi. Pengamat politik dan pemerintahan lokal Universitas Riau Saiman Pakpahan sangat mengkhawatirkan hal ini. Saiman melihat sedang terjadi mis persepsi antara eksekutif dan legislatif dalam menyikapi hal tersebut. Sehingga akhirnya muncul ego sektoral yang bisa berdampak merugikan masyarakat.

"Saya rasa ini mis persepsi lembaga saja dalam memahami kewenangan. Ada yang salah tafsir antara pihak legislatif dalam membangun hubungan kerja dengan eksekutif. Seperti misalnya mengharuskan Satker membawa RKA saat hearing dengan komisi. Memang benar APBD itu adalah data publik, tapi kewenangan dewan bukanlah untuk mengaturnya item per item. Nanti malah bisa menimbulkan praduga yang tidak-tidak lho terhadap dewan," ujar Saiman memberi penjelasan.

Saiman memberi saran agar dewan merujuk kembali kepada aturan UU No. 32 Tahun 2014 terkait dengan hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif. Disanakan jelas disebutkan, bahwa kewenangan dewan bukan pada tataran teknis. "Benar APBD adalah dokumen publik, tetapi kewenangan legislatif bukan untuk mengatur item per item. Hearing dewan sebaiknya membahas apa saja out put dari program yang akan dijalankan SKPD. Bagaimana progres kegiatan dan penyerapannya sesuai waktu atau tidak," terang Saiman.

Kemudian, tambah magister Fisip UGM ini, dewan harus melihat program SKPD terukur atau tidak. "Apakah program yang dibuatnya abal-abal atau hanya program seremonial yang tidak berujung pada pencapaian visi dan misi daerah. Itu yang sebenarnya menjadi pokok dalam dengar pendapat antara eksekutif dan legislatif. Bukan malah masuk ke wilayah teknis yang bisa memunculkan kecurigaan-kecurigaan," papar Saiman.

Biarlah persoalan teknis menjadi wilayahnya eksekutif. Persoalan SKPD melakukan pelanggaran seperti melakukan mark up atau membuat kegiatan fiktif, itu akan menjadi wilayah tugas dan kewenangan yudikatif. "Jadi begitu SKPD lari dari koridor tugasnya. Bersiap-siaplah berhadapan dengan yudikatif dan penegak hukum lainnya. Saya pikir dewan tidak perlu khawatir dengan hal tersebut. Saya harap ini bisa dipahami agar masing-masing pihak paham dengan wilayah kerjanya. Jangan sampai kita nantinya ditertawakan publik yang memahami hal tersebut," tegas Saiman.

Sementara itu, menyikapi hal ini Jhon Hendri dari LSM LAKI (Lembaga Anti Korupsi Indonesia) menyarankan agar dewan fokus saja dengan tugas dan kewenangan yang menjadi bagiannya. "Kalau teman-teman di dewan ingin masuk ke wilayah teknis bermainlah yang cantik dan smooth. Secara aturan jelas bahwa itu kan bukan wilayahnya, jangan grasak grusuk gitu. Sehingga nanti di tengah masyarakat malah terkesan dewan ingin bermain proyek. Inikan stigma yang kurang bagus," kata Jhon singkat. (ops)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER