Kanal

Bhinneka Tunggal Ika; Ini Maksud Mpu Tantular yang Benar!

OLEH: ADHIE M. MASSARDI
BHINNEKA Tunggal Ika. Semua orang Indonesia, asal umurnya di atas balita, pasti tahu artinya. "Berbeda-beda tapi tetap satu!” Namun motto yang ditulis pada pita yang digenggam Burung Garuda (Pancasila) lambang negara itu, sering (hanya) diartikan: meskipun banyak suku, etnis, adat dan bahasa, kita tetap satu: Indonesia.

 

Pengertian yang salah kaprah ini bahkan dipamerkan pada acara kenegaraan di Istana Negara saat digelar peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus kemarin. Sehingga upacara yang seharusnya khidmat itu, suasananya jadi tampak seperti keriaan karnaval karena mulai dari Presiden, Ibu Negara, Wapres dan istrinya, serta para pembesar negara dan para tamu undangan mengenakan busana aneka daerah yang ada di Tanah air.

 

Mungkin mereka lupa, perbedaan asal-usul, adat-istiadat, suku dan bahasa sudah dilebur dengan sangat heroik, dikonkretkan sebagai komitemen anak bangsa dalam “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928, oleh generasi muda yang kemudian menjadi para pendiri bangsa Indonesia itu.

 

Lalu apakah dengan demikian motto bangsa yang dikutip dari salah satu bait puisi keagamaan berbahasa Jawa Kuna Sutasoma karya Mpu Tantular itu masih relevan untuk saat ini?

 

Jawabannya: tentu saja masih sangat relevan, dan akan tetap relevan karena persoalan bangsa Indonesia dan umat manusia pada umumnya,  yang dicemaskan Mpu Tantular delapan (8) abad  lalu, tetap menjadi ancaman. Yakni perpecahan akibat perkara agama!


Benar, sejak awal, pujangga zaman Majapahit (abad 14) ini memang ingin memaknai “bhinneka tunggal ika” sebagai landasan etika dan moralitas kemajemukan kita dalam kehidupan keberagamaan, dan bukan dasar bagi kebhinekaan dalam konteks suku, ras, dan bahasa.

 

Ini kutipan bait kakawin Sutasoma yang mengandung kalimat sakral “bhinneka…” itu.

Rw?neka dh?tu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan ?iwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.


(Syahdan Budhha dan Syiwa adalah dua dzat bebeda

Mereka memang beda, tetapi bagaimana bisa dikenali?

Padahal kebenaran Jina (Buddha) dan Syiwa adalah tunggal

Berbeda tetapi satu, dan tak ada keraguan dalam kebenaran)

 

Kita tahu dari sejarah, Mpu Tantular adalah penganut Buddha, yang waktu itu merupakan “ajaran baru” yang lebih egaliter. Sementara agama resmi negara (Majapahit) di bawah kekuasaan Maharaja Hayam Wuruk, adalah Hindu-Syiwa.

 

Mpu Tantular tampaknya paham betul, sebagai mahluk sosial, pada hakekatnya manusia memiliki naluri untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Karena itu, bahasa, ras, suku atau etnik tak pernah sungguh-sungguh menjadi kendala untuk menjadi “ika”. Apalagi di jalan ekonomi, yang harus dilalui untuk mencapai kesejahteraan, dijejali manusia-manusia dari berbagai etnis, suku, bangsa dan bahasa.

 

Bahkan dari jalan ekonomi yang hiruk-pikuk oleh berbagai bangsa itulah kita mengenal ajaran Hindu, Buddha (India, Gujarat), Islam (Cina, Arab), Kristen Protestan, Katolik Roma (Eropa), dst.

 

Lahirnya puisi keagamaan Sutasoma, yang kini disepakati sebagai dasar pluralisme dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara karena Mpu Tantular pernah mendengar tragedi panjang Perang Salib, yang menurut sejarah berlangsung di Jerusalem, Timur Tengah, dari 1095 hingga 1291.

 

Tapi sebenarnya Perang Salib baru berkahir pada abad ke-16, setelah kawasan Eropa mengalami pencerahan (renaissance), yang memungkinkan ilmu pengetahun dan kesejahteraan serta kesadaran rakyatnya meningkat.

 

Sebagai intelektual, Mpu Tantular niscaya tahu, sebagaimana kini kita juga tahu, bahwa Perang Salib sesungguhnya bukan “perang antaragama” (Kristen vs Islam). Melainkan perebutan kekuasaan wilayah (Jerusalem) yang kebetulan melibatkan dua penguasa yang berbeda agama.

 

Dari berbagai literatur, kita paham di bagian lain ada umat Kristiani yang dibela umat Islam, dan sebaliknya. Sehingga dari pergaulan dan komunikasi sosial itu, terjadi tukar-menukar ilmu pengetahuan, yang kemudian dibawa pulang oleh orang-orang Kristen Eropa, dan menjadi bagian penting lahirnya "renaisans” (babad pencerahan) bagi bangsa-bangsa di Benua Biru itu.

 

Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh tentang perang “keagamaan” yang melahirkan sejumlah film dengan nilai kepahlawanan dan spiritualitas yang enak ditonton, seperti Kingdom of Heaven yang bagus itu. Tetapi mengenai bagaimana kisah Perang Salib menjadi inspirasi Mpu Tantular yang pada abad ke-14, saat perang itu secara sporadis masih berkecamuk, menulis Sutasoma, yang salah satu baitnya menyebut “bhineka tunggal ika” itu.

 

Mungkin dengan “kalimat sakti” itu, Mpu Tantular ingin mencegah jangan sampai di Bumi Nusantara meletus perang perebutan kekuasaan atas wilayah tertentu, atau pertarungan politik kekuasaan pada zaman sekarang, dikemas dengan nilai-nilai keagamaan.

 

Membenturkan hati dan pikiran

Mpu Tantular tampaknya paham betul, agama adalah keyakinan yang diproses oleh pikiran, kemudian bersemayam di hati. Dengan demikian, dalam diri seseorang, agama menjadi lebih lekat, lebih menyatu, dari sekedar etnik, ras, bangsa, atau bahasa, yang terbawa begitu saja karena gen orang tua yang melahirkannya.

 

Oleh sebab itu, perbedaan etnik, ras atau bangsa, bisa direkatkan oleh, misalnya, tali perkawinan, bahkan oleh saling mengirim utusan (duta) sebagai perwakilan. Perbedaan bahasa bahkan cukup dijembatani oleh penerjemah. Sekarang lebih cepat, via google translate.

 

Kisah Romeo dan Juliet yang ditulis pujangga Inggris William Shakespeare (1564-1616), yang menggambarkan permusuhan antarkeluarga yang kronis (Montague vs Capulet), bisa lekas disadarkan oleh fakta anak-anak mereka yang saling jatuh cinta. Memang ada korban. Tapi itu pun akibat salah pengertian, dan terbatas pada Romeo dan Juliet. Setelah itu, kedua keluarga kembali hidup dalam keharmonisan.

 

Akan tetapi sengketa yang dibungkus dengan agama, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah panjang Perang Salib, tak mudah diselesaikan. Karena yang berbenturan, atau yang dibenturkan, bukan hanya fisik dengan fisik, pikiran dengan pikiran, bukan juga hati dengan hati, tapi seluruh indra kehidupan kita terlibat konflik yang sia-sia itu. Sehingga, tak ada lagi ruang tersisa untuk dialog.

 

Akibatnya, konflik itu mengalir sampai ke anak cucu. Bahkan, pada sejumlah komunitas, baik yang Muslim maupun Kristen, dampak Perang Salib terasa sampai hari ini, berabad-abad kemudian!

 

Beruntung, para founding father kita mewarisi nilai-nilai pluralisme yang ditanamkan Mpu Tantular, sehingga tidak menggunakan isu agama, atau membungkus semangat perlawanan terhadap penjajah dari Eropa yang bergama Kristen, baik itu Belanda, Inggris, maupun Portugis, dengan membuat perlawanan Muslim dan Non-Muslim.

 

Meskipun ada pekik-pekik keagamaan (Islam) “Allahu Akbar!” yang digunakan tentara rakyat Indonesia, seperti terjadi dalam pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945, tapi pekik itu terhenti sampai di situ. Tidak dijadikan sebagai tanda pertempuran keagamaan.

 

Begitulah makna “bhinneka tunggal ika” yang benar menurut kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular.

Dan kecemasan Mpu Tantular memang benar. Lihatr saja, betapa buntut pemilihan gubernur DKI Jakarta yang baru lalu, yang dipicu Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menjadi (seolah-olah) pertarungan antar-pemeluk agama, ketegangannya (masih) terasa sampai sekarang. Bukan hanya di Ibukota arena pertarungannya, tapi secara nasional. Dan gemanya menginternasional.

 

Kalau sudah begini, jalan keluarnya bukan dengan ramai-ramai berbusana aneka daerah. Tapi penegakkan hukum yang adil dan beradab. Tepatnya: equality before the law.***

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER